Asal Usul
Kepercayaan
individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat
hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah,
yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi
tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang
utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang,
sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke
lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau
menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa
disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi
bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.
Kepercayaan
individu atau masyarakat dan kondisi alam di mana individu atau masyarakat
hidup mempunyai pengaruh signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah,
yang dibuat. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan tinggi
tiang antara 2,50-3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang, dengan satu ruang
utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang,
sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke
lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan mudah, tinggal menambah atau
menghilangkan bagian yang ada di sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa
disebut sramoe likot atau serambi belakang dan sramoe reunyeun atau serambi
bertangga, yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.
Rumoh
Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap
Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita
dapat melihat budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat
Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk
Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya ang terbuat dari kayu
pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga
dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka
tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan.
Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan
paku, Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh
keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat
pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu
bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada
di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis
imajiner dengan Ka‘bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan
dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu
berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang
berjumlah ganjil.
Selain
sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap
lingkungannya, keberadaan Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial
penghuninya. Semakin banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya
semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan
hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Seiring
perkembangan zaman yang menuntut semua hal dikerjakan secara efektif dan
efisien, dan semakin mahalnya biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka
lambat laun semakin sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini.
Akibatnya, jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih
memilih untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan
pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya lebih
rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya lebih mahal.
Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya terhadap arsitektur
warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh yang ditempelkan pada rumah
beton mereka.
Keberadaan
Rumoh Aceh merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan
oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga
melestarikan eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh
akan semakin menemukan momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26
Desember 2004. Pasca tragedi bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai
bangsa datang tidak hanya membawa bantuan tetapi juga membawa tradisi yang
belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang berkembang di Aceh.
Bagian - bagian Rumoh Aceh
Pada
bagian bawah rumah atau disebut dengan yup moh bisa digunakan untuk menyimpan
berbagai benda, seperti penumbuk padi dan tempat menyimpan padi. Tidak hanya
itu, bagian yup moh juga sering difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak,
membuat kain songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa
dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.
- Ruangan depan atau disebut dengan seuramoe reungeun
merupakan ruangan yang tidak berbilik (berkamar-kamar). Dalam sehari-hari
ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak
laki-laki, dan tempat anak-anak belajar mengaji saat malam atau siang
hari. Disaat-saat tertentu, seperti ada upacara perkawinan atau upacara
kenduri, maka ruangan inilah yang menjadi tempat penjamuan tamu untuk
makan bersama.
- Ruangan tengah yang disebut dengan seuramoe teungoh
merupakan bagian inti dari rumoh Aceh, maka dari itu banyak pula disebut
sebagai rumoh inong (rumah induk). Sedikit perbedaan dengan ruang lain, di
bagian ruangan ini terlihat lebih tinggi dari ruangan lainnya, karena
tempat tersebut dianggap suci, dan bersifat sangat pribadi. Di ruangan ini
terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri,
posisinya menghadap ke utara atau selatan dengan pintu yang menghadap ke
belakang. Di antara kedua bilik itu terdapat pula gang yang menghubungkan
ruang depan dan ruang belakang. Rumoh inong biasanya sebagai tempat tidur
kepala keluarga. Bila anak perempuan baru saja kawin, maka dia akan
menempati rumah inong ini. Sementara orang tuanya akan pindah ke anjong.
Bila ada anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke
seuramoe likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau merombak
rumahnya. Di saat upacara perkawinan, mempelai akan dipersandingkan di
bagian rumoh inong, begitu juga saat ada kematian rumoh inong akan
digunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
Ruangan belakang disebut seuramoe likot yang
memiliki tinggi lantai yang sama dengan seuramoe reungeun, serta tidak
mempunyai bilik atau sekat-sekat kamar. Fungsinya sering dipergunakan untuk
dapur dan tempat makan bersama keluarga, selain itu juga dipergunakan sebagai
ruang keluarga, baik untuk berbincang-bincang atau untuk melakukan kegiatan
sehari-hari perempuan seperti menenun dan menyulam. Namun, ada waktunya juga
dapur sering dipisah dan malah berada di bagian belakang seuramoe likot.
Sehingga ruang tersebut dengan rumoh dapu (dapur) sedikit lebih rendah lagi
dibanding lantai seuramoe likot. Di bagian atas sering diberi loteng yang
memiliki fungsi untuk menyimpan barang-barang penting keluarga.
Tiang
Rumoh Aceh berbahan kayu. Di samping itu, kayu pada rumoh Aceh digunakan pula
untuk membuat toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng,
indreng, dan lain sebagainya. Lantai dan dindignya terbuat dari papan. Selain
itu, beberapa bahan yang digunakan untuk pembuatan Rumoh Aceh diantaranya
Trieng bambu yang digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah
(tempat menyemat atap), dan lain sebagainya. Selain menggunakan bambu,
adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
Untuk
memperkuat bangunanya tidak menggunakan paku, tali pengikat yang berbahan tali
ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik. Adapun
atapnya menggunakan daun rumbia atau kadang menggunakan daun enau. Sementara
pelepah rumbia digunakan untuk membuat rak-rak dan sanding.
Tahapan Pembangunan Rumoh Aceh
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah bagaikan membangun kehidupan itu
sendiri. Hal itulah mengapa pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi
beberapa persyaratan dan melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus
dilakukan misalnya pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama
setempat), pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan, dan sebagainya. Oleh
karena proses pembuatan Rumoh Aceh dilakukan secara cermat dengan berlandaskan kepada
pengetahuan lokal masyarakat, maka Rumoh Aceh walaupun terbuat dari kayu mampu
bertahan hingga ratusan tahun lamanya.
Adapun tahapan-tahapan pembangunan Rumoh Aceh adalah: (1) musyawarah, (2)
pengumpulan bahan, (3) pengolahan bahan, dan (4) perangkaian bahan. Tahapan
paling awal untuk mendirikan Rumoh Aceh adalah melakukan musyawarah keluarga.
Kemudian dilanjutkan dengan memberiatahukan rencana pendirian rumah tersebut
kepada Teungku. Tujuannya adalah untuk mendapatkan saran-saran tentang apa yang
harus dilakukan agar rumah yang dibangun dapat memberikan ketenangan,
ketenteraman, dan sejahtera baik lahir maupun batin kepada penghuninya.
Setelah mendapatkan saran-saran dari Teungku, dilanjutkan dengan pengadaan
bahan. Pengadaan bahan-bahan dilakukan secara gotong royong. Kayu yang baik
adalah kayu yang tidak dililiti akar dan apabila kayu ditebang, rebahnya tidak
menyangkut kayu yang lain. Kayu-kayu tersebut kemudian dikumpulkan di suatu
tempat yang terlindung dari hujan. Jika waktu pembangunan masih lama,
adakalanya bahan-bahan tersebut direndam terlebih dahulu di dalam air,
tujuannya agar kayu-kayu tersebut tidak dimakan babuk.
Tahap berikutnya adalah mengolah kayu sesuai dengan kegunaannya
masing-masing. Setelah semuanya siap, maka dimulailah pendirian Rumoh Aceh.
Pendirian awal Rumoh Aceh ditandai dengan pembuatan landasan untuk memancangkan
kayu. Kayu yang pertama dipancangkan adalah tiang utama (tiang raja) dan
dilanjutkan dengan tiang-tiang yang lain. Setelah semua tiang terpancang,
dilanjutkan dengan pembuatan bagian tengah rumah, yang meliputi lantai rumah
dan dinding rumah. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bagian atas rumah yang
diakhiri dengan pemasangan atap. Bagian terakhir pembangunan Rumah Aceh adalah
finishing, yaitu pemasangan ornamen pendukung seperti ragam hias dan
sebagainya.
Anatomi Rumoh Aceh
Pada jaman dahulu kala, rumah adat Aceh atapnya terbuat dari daun rumbia.
Jadi jika ada kasus kebakaran, pemilik rumah bisa langsung memotong bagian daun
yang terbakar, tanpa kesulitan. Dan di depan rumah biasanya terdapat guci atau
gentong tempat menyimpan air. Gentong air ini digunakan untuk menyimpan air
untuk cuci kaki/membersihkan kaki jika seseorang ingin memasuki rumah. Karena
letak rumah ini beberapa cm di atas tanah, maka rumah ini membutuhkan tangga
bagi orang-orang yang ingin memasuki rumah; dan jumlah anak tangga biasanya
ganjil.
Krong Bade atau Rumoh Aceh adalah rumah adat yang unik, yang mempunya
kekhasan seperti kebanyakan rumah adat di Indonesia. Rumah dengan arsitektur
klasik dan terbuat dari kayu dan dipercantik dengan ukir-ukiran ini ternyata
tidak terlalu diminat lagi oleh penduduk Aceh yang sudah tersentuh arus
modernitas. Hal ini dikarenakan dalam membangun rumah ini dibutuhkan banyak
sekali biaya dan tenaga dalam pemeliharaannya. Rumah adat Aceh merupakan
jenis rumah yang membutuhkan perawatan dan kemampuan ekonomi ekstra dalam
proses pembuatannya, karena materi dasar pembuatannya adalah kayu dan saat ini
sudah agak sulit bagi masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mendapatkan kayu.